BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Partai Politik
Partai politik
merupakan organisasi politik yang dapat berperan sebagai penyalur aspirasi
masyarakat, dimana partai politik menjadi penghubung antara penguasa dan
kuasaan. Adanya partai politik membuat rakyat dapat terlibat secara langsung
dalam proses penyelenggaraan negara dengan menempatkan wakilnya melalui partai
politik. Secara umum partai politik dikatakan sebagai suatu kelompok yang
memiliki tujuan dan cita-cita yang sama, yang berusaha memperoleh kekuasaan
melalui pemilihan umum.
Pengertian partai politik dalam UU No. 31 Tahun 2002
pasal 1 (1) adalah:
“Organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara
Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui
pemilihan umum”.
Ramlan Surbakti
mendefinisikan partai politik sebagai : “Kelompok anggota yang terorganisasikan
secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi
tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam
pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum
yang mereka susun”. (Surbakti, 1992:116)
Inu Kencana dkk, mengemukakan definisi partai politik
sebagai : “Sekelompok orang-orang memiliki ideologi yang sama, berniat merebut
dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk memperjuangkan kebenaran,
dalam suatu level negara”. (Kencana dkk, 2002:58)
Sigmun Neuman seperti
yang dikutip oleh Miriam Budiardjo dalam bukunya “Partisipasi Politik dan
partai Politik” mengemukakan definisi partai politik sebagai berikut : “Partai
politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik
yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada
menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan
rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang
berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang
menghubungkan kekuasaan-kekuasaan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga
pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam
masyarakat politik yang lebih luas”. (Neuman dalam Miriam Budiardjo,
1998:16-17)
J. A. Corry dan Henry
J. Abraham mengungkapkan pendapatnya tentang partai politik seperti yang
dikutip oleh Haryanto dalam bukunya “Partai Politik Suatu Tinjauan Umum”, yaitu
: “Political party is a voluntary association aiming to get control of the
government by filling elective offices in the government with its members (Partai
politik merupakan suatu perkumpulan yang bermaksud untuk mengontrol jalannya
roda pemerintahan dengan cara menempatkan para anggotanya pada jabatan-jabatan
pemerintahan)”. (Corry dan dalam Haryanto, 1984:9)
Dari berbagai definisi
di atas, dapat dilihat bahwa tujuan utama partai politik adalah menguasai
pemerintahan sehingga mereka dapat lebih leluasa melaksanakan
keinginan-keinginan mereka serta mendapatkan keuntungan. Partai politik berbeda
dengan gerakan (movement). Suatu gerakan biasanya menggunakan politik
untuk mengadakan suatu perubahan terhadap suatu tatanan yang ada dalam masyarakat,
bahkan ada yang sampai ingin menciptakan tatanan masyarakat yang benar-benar
baru. Partai politik memiliki tujuan yang lebih luas dari sekedar perubahan,
partai politik juga ikut mengadu nasibnya dalam pemilihan umum.
Partai politik juga
berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau yang lebih dikenal
dengan kelompok kepentingan (inters group).Kelompok kepentingan hanya
bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan tertentu dengan mempengaruhi pembuat
keputusan. Kelompok kepentingan biasanya berada di luar partai politik, yaitu
berasal dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
2.2 Sejarah dan Asal Usul Partai Politik
2.2.1 Sejarah partai
politik
a. Sejarah Partai Politik di Dunia
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat bersamaan
dengan gagasan bahwa rakyat merupakan fakta yang menentukan dalam proses
politik. Dalam hal ini partai politik berperan sebagai penghubung antara rakyat
di satu pihak dan pemerintah di lain pihak. Maka dalam perkembangannya kemudian
partai politik dianggap sebagai menifestasi dari suatu sistem politik yang
demokratis, yang mewakili aspirasi rakyat.
Pada permulaannya peranan partai politik di negara-negara Barat bersifat
elitis dan aristokratis, dalam arti terutama mempertahankan kepentingan golongan
bangsawan terhadap tuntutan raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan
tersebut meluas dan berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Hal ini antara
lain disebabkan oleh perlunya dukungan yang menyebar dan merata dari semua
golongan masyarakat. Dengan demikian terjadi pergeseran dari peranan yang
bersifat elitis ke peranan yang meluas dan populis.
Perkembangan selanjutnya adalah dari Barat, partai politik mempengaruhi dan
berkembang di negara-negara baru, yaitu di Asia dan Afrika. Partai politik di
negara-negara jajahan sering berperan sebagai pemersatu aspirasi rakyat dan
penggerak ke arah persatuan nasional yang bertujuan mencapai kemerdekaan. Hal
ini terjadi di Indonesia (waktu itu masih Hindia Belanda) serta India. Dan
dalam perkembanganya akhir-akhir ini partai politik umumnya diterima sebagai
suatu lembaga penting terutama di negara-negara yang berdasarkan demokrasi
konstitusional, yaitu sebagai kelengkapan sistem demokrasi suatu negara.
b. Sejarah partai politik di
Indonesia
Parpol yang pertama ada di Indonesia adalah De
Indische Partij yang pada 25 Desember 1912 dibentuk Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara ketika Indonesia masih dalam penjajahan
Belanda. Tujuan parpol itu adalah mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Sekalipun paham Indonesia baru ditegaskan pada 28 Oktober 1928 dalam Sumpah
Pemuda, namun para pendiri parpol ini sudah dilandasi oleh pikiran bahwa
seluruh rakyat Hindia Belanda merupakan kesatuan.
Pada tahun 1911 Haji Samanhudi membentuk Sarikat Dagang Islam (SDI) sebagai
organisasi untuk mengejar perbaikan nasib rakyat Indonesia dalam daerah jajahan
Hindia Belanda. Pada tahun 1912 Haji Oemar Said Tjokroaminoto memberikan kepada
SDI nama baru, yaitu Sarikat Islam (SI), karena hendak meluaskan perjuangannya
tidak terbatas pada bidang ekonomi saja. Dengan begitu SI juga melakukan
perjuangan politik. Meskipun tidak secara resmi dinamakan partai politik,
tetapi melihat sifat perjuangannya SI adalah satu parpol. Maka boleh dikatakan
bahwa sejarah parpol di Indonesia bermula pada tahun 1912.
Setelah itu telah berkembang berbagai parpol di Indonesia, baik yang
berorientasi nasionalisme, agama maupun sosialisme. Di masa penjajahan Belanda
jelas sekali bahwa mayoritas parpol bertujuan mencapai kemerdekaan bangsa
Indonesia, kecuali beberapa parpol yang dibentuk orang-orang Belanda atau
orang-orang yang dekat dengan kepentingan penjajahan Belanda. Yang menonjol
adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mulanya bernama Perserikatan
Nasional Indonesia, dibentuk pada 4 Juli 1927 oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr.
Sartono, Mr. Iskak Tjokrohadisuryo dan Mr. Sunaryo . Kemudian pada tahun 1928
berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia dan dipimpin Ir Sukarno atau
Bung Karno yang pada 17 Agustus 1945 bersama Drs Mohamad Hatta memproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia atas nama rakyat Indonesia.
Pada 1 Juni 1945 Bung Karno menyampaikan pandangannya depan Panitya
Persiapan Kemerdekaan tentang Pandangan Hidup Bangsa (Weltanschauung). Uraian
yang beliau beri nama Pancasila kemudian diterima sidang dan kemudian dengan
beberapa perubahan redaksional ditetapkan sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia. Sejak permulaan berdirinya Republik Indonesia ada partai politik.
Semula hendak dibentuk parpol tunggal, tapi kemudian dimungkinkan berdirinya
banyak parpol. Itu berarti bahwa parpol oleh para Pendiri Negara tidak dinilai
bertentangan dengan pandangan hidup Pancasila, sekalipun asal mulanya di
masyarakat Barat yang dasarnya individualisme dan liberalisme. Namun karena berada
dalam masyarakat dengan dasar Pancasila, parpol itu menyesuaikan eksistensi dan
perilakunya dengan nilai dasar Pancasila, yaitu Perbedaan dalam Kesatuan dan
Kesatuan dalam Perbedaan.
Tabel
Sejarah
Perkembangan Partai Politik Indonesia 1908-1998
Periode
Pemerintahan
|
Periode Demokrasi
|
Jumlah Partai
|
1908-1942
|
Zaman Kolonial
|
Multipartai
|
1942-1945
|
Zaman Pendudukan Jepang
|
Tidak ada
|
22 Agustus 1945-
14 November 1945
|
Sistem Presidensiil
1. 22
Agustus 1945
2. 3
November 1945
|
Satu partai (PNI)
Multipartai
|
14 November 1945-1950
1950-1959
|
Demokrasi Parlementer
14 November
1945
1955
|
Mulai sistem parlementer
Pemilu dengan lebih dari 20 partai
|
1959-1965
|
Demokrasi Terpimpin
1959
2. 1960
|
Dikeluarkan penpres 7/1959 (mencabut maklumat Pemerintah 3 November 1945
dan melakukan penyederhanaan partai). Hanya 10 partai yang diakui (PKI, PNI,
NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI,
Partai Islam Perti), sedangkan Masjumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960..
dibentuk Front Nasional yang mewakili semua kekuatan politik termasuk
PKI, Front Nasional ini memberikan kesempatan kepada golongan fungsional dan
ABRI yang sebelumnya kurang berpartisipasi. PKI dapat masuk ke Front Nasional
karena didasarkan prinsip NASAKOM
|
1965-1998
|
Demokrasi Pancasila
1966
7 Juli 1967
1967-1969
1973
1977, 1982,
1987, 1992 dan 1997
1982
1984
1996
|
PKI dan Partindo dibubarkan
Konsensus Nasional a.1. 100 anggota DPR diangkat
Eksperimen Dwipartai dan Dwigroup dilakukan dibeberapa Kabupaten di Jawa
Barat, namun dihentikan pada awal 1969.
Penggabungan Partai menjadi tiga orsospol (9 partai + 1 Golongan Karya)
Pemilu hanya diikuti oleh 3 orsospol (sistem multipartai terbatas)
Pancasila satu-satunya asas
NU Khittah
PDI pecah
|
1998
|
21 Mei 1998
|
Reformasi dengan multipartai
|
c. Masa penjajahan Belanda.
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di
Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran
nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti
Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler
seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam
pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.
Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi
kesadaran nasinal untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah
didirikan Dewan Rakyat , gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam
badan ini. Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu
Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai
Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep
di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan
menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI
(Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia)
yang merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI
(Majelis Islamil Aâ€laa Indonesia) yang
merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun
1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi
buruh.
d. Masa pendudukan Jepang
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam
diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di
bidang sosial.
e. Masa Merdeka (mulai 1945).
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar
untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik
Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.
Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI,
NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa
kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat
penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak
partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak
dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat
berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5
Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin.
Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi,
sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat
ini dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU,
PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI
memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir September
1965).
Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat
bergerak lebih leluasa dibanding dengan msa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan
pada masa ini adalah munculnya organisasi kekuatan politik bar yaitu Golongan
Karya (Golkar). Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar munculsebagai pemenang
partai diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim
Indonesia) serta PNI.
Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai politik.
Empat partai politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan
Perti bergabung menjadi Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima partai lain
yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Parati Katolik, Partai Murba dan Partai
IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bergabung menjadi Partai
Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun 1977 hanya terdapat 3 organisasi keuatan
politik Indonesia dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1997.
f. Partai Politik di Indonesia masa kini
Setelah terjadi Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 kehidupan bangsa
sangat berbelok ke sifat-sifat yang mengarah ke pandangan hidup Barat, yaitu
individualisme dan liberalisme. Politik luar negeri AS yang sejak berakhirnya
Perang Dingin sangat kuat mengusahakan agar bangsa-bangsa di dunia mengikuti
pandangan hidupnya, besar dampaknya di Indonesia. Hal itu juga dimungkinkan
oleh dukungan sementara pihak di Indonesia yang mempunyai pandangan dan
kepentingan yang sama dengan AS. Usaha itu antara lain berhasil melakukan
amandemen 4 kali terhadap UUD 1945 sehingga isinya sudah amat mengarah kepada
kehidupan berdasarkan individualisme dan liberalisme.
Sebagai akibat dari perubahan itu makin menguat pandangan tentang kebebasan
individu yang mutlak seperti yang ada di Barat, serta makin lemahnya sikap
Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Perubahan itu juga
berdampak pada parpol di Indonesia. Parpol berperilaku sebagai individu yang
bebas dan kuasa penuh tanpa konsiderasi terhadap Kesatuan, yaitu kepentingan
masyarakat dan bangsa. Parpol secara terus terang mengejar pencapaian kekuasaan
untuk mewujudkan kepentingan yang tidak peduli kepada kepentingan umum. Anggota
parpol yang duduk dalam Pemerintah dan Legislatif bukan berfungsi sebagai wakil
Rakyat, melainkan sebagai wakil parpol. Sikap dan perilaku parpol yang sudah
amat menyeleweng dari kaidah yang berlaku dalam Pancasila diperparah lagi oleh
sikap dan perilaku banyak anggotanya. Anggota parpol menunjukkan sikap dan
perilaku sesuai dasar kebebasan penuh-mutlak seperti dalam pandangan Barat dan
tidak menghiraukan harmoni dan keselarasan sebagaimana ditetapkan Pancasila.
Kaum politik yang juga makin kuat dipengaruhi cara berpikir Barat mengejar
kepentingannya dengan membentuk parpol tanpa menghiraukan apakah parpol itu
memperjuangkan platform tertentu. Akibatnya adalah tumbuhnya jumlah parpol yang
tidak terkendali tanpa ada identitas politik tertentu bagi masing-masing
parpol. Yang membedakannya adalah hanya nama orang yang memimpin parpol itu.
Keadaan demikian menimbulkan kehidupan politik yang jauh dari mendukung
terwujudnya kesejahteraan bangsa.
Untuk membangun kondisi parpol yang sesuai dengan kepentingan masyarakat
dan bangsa diperlukan syarat utama kembalinya Pancasila sebagaiDasar Negara RI
secara nyata. Untuk itu haruslah pertama-tama UUD 1945 dikembalikan kepada
keadaanya yang asli sebelum ada amandemen. Kalau toh dinilai perlu ada
perbaikan pada isi UUD1945, hal itu dilakukan setelah kembali ke keadaan semula
dengan mengadakan perbaikan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pebaikan
tidak dalam bentuk amandemen, melainkan sebagai addendum. Kalau ada orang
mengatakan bahwa Pancasila adalah satu ideologi terbuka, itu tidak berarti
bahwa Pancasila dapat diubah dengan nilai-nilai yang bertentangan dan berbeda
dengan Pancasila. Sebab Pancasila adalah Isi Jiwa bangsa Indonesia, maka
mengubah Pancasila berarti menghasilkan Jati Diri lain yang bukan bangsa
Indonesia.
Berdasarkan UUD 1945 yang asli dibuat UU Partai Politik yang sesuai dan
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Hal ini merupakan landasan
bagi tempat dan peran Partai Politik dalam sistem Pancasila yang tidak mungkin
sama dengan tempat dan peran parpol dalam sistem Barat. Hal ini pasti mendapat
perlawanan dari mereka yang sudah memperoleh keuntungan dari penyelewengan yang
terjadi di Indonesia. Mereka membanggakan Indonesia sekarang sebagai Negara
Demokrasi Ketiga Terbesar di dunia, setelah India dan AS. Buat mereka demokrasi
hanyalah demokrasi Barat, demokrasi liberal. Kalau tidak itu maka itu bukan
demokrasi. Atas dasar itu mereka mengatakan bahwa merupakan kesalahan besar
mengubah keadaan sekarang, sebab mereka tidak peduli bahwa itu menimbulkan
kondisi yang merugikan secara mendasar kepentingan masyarakat dan bangsa. Mereka
menjustifikasi berbagai keadaan yang buruk sekarang sebagai hal yang lumrah
dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Sesuai dengan perkembangan
internasional, mereka akan mendapat dukungan terbuka atau terselubung dari
negara-negara yang berorientasi Barat dan mempunyai kepentingan di Indonesia.
Sebab itu seluruh Rakyat Indonesia yang dirugikan oleh perkembangan sekarang
yang menyeleweng dari Dasar Negara RI harus menyatukan barisan dan
memperjuangkan dengan tekad dan komitmen kuat agar UUD 1945 yang asli berlaku
kembali di NKRI.
2.2.2 Asal usul
partai politik
Ramlan Surbakti dalam bukunya “Memahami Ilmu Politik”mengemukakan
tiga teori tentang asal-usul partai politik, yaitu :
a. Teori Kelembagaan
Teori ini mengatakan bahwa partai politik ada karena di bentuk oleh
kalangan legislatif (dan atau eksekutif) karena kedua anggota lembaga tersebut
ingin mengadakan kontak dengan masyarakat sehubung dengan pengangkatannya, agar
tercipta hubungan dan memperoleh dukungan dari masyarakat maka terbentuklah
partai politik. Ketika partai politik bentukan pemerintah dianggap tidak bisa
menampung lagi aspirasi masyarakat, maka pemimpin kecil masyarakat berusaha
membentuk partai-partai lain.
b. Teori Situasi Historis
Teori ini menjelaskan tentang krisis situasi historis yang terjadi manakala
suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari
struktur masyarakat tradisional kearah struktur masyarakat modern. Pada situasi
ini terjadi berbagai perubahan yang menimbulkan tiga macam krisis, yakni
legitimasi, integrasi dan partisipasi. Partai politik lahir sebagai upaya dari
sistem politik mengatasi krisis yang terjadi. Partai politik diharapkan dapat
berakar kuat dalam masyarakat untuk dapat mengendalikan pemerintahan sehingga
terbentuk pola hubungan yang berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat.
Terbukanya partai bagi setiap anggota masyarakat dari berbagai golongan
mengharapkan partai politik dapat menjadi alat integrasi bangsa. Dengan adanya
partai politik juga masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum.
c. Teori Pembangunan
Menurut teori ini partai politik lahir sebagai akibat dari adanya proses
modernisasi sosial-ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa
media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan,
industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi,
pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan
peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi lingkungan, melahirkan suatu
kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan memperjuangkan
berbagai aspirasi tersebut. Maka lahirlah partai politik, dengan harapan agar
organisasi politik tersebut mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai
aspirasi yang ada.
Berdasarkan teori asal-usul terbentuknya partai politik di atas, penulis
dapat mengkategorikan bahwa Partai Demokrat terbentuk berdasarkan teori situasi
historis. Partai Demokrat lahir karena adanya keinginan untuk memperbaiki bangsa
yang sedang dilanda krisis multidimensi karena partai-partai politik yang
berkuasa sebelumnya dianggap gagal.
2.2.3 Basis Partai Politik
Suatu partai
mendasarkan kekuatannya pada dukungan satu atau beberapakelompok yang mempunyai
orientasi dan tujuan-tujuan politik yang sama, dengankata lain partai berdiri
di atas suatu dukungan basis sosial. Di sini basis sosialdiartikan sebagai satu
atau beberapa orang yang menjadi pendukung utama darisuatu partai politik. Hal
tersebut mengaitkan tingkat atau kualitas kesetiaanpartisipasi dan pemberian
suara oleh pemilih kepada partainya dalam pemilu.Menurut Angus Campbell, ada
tiga variable utama yang mampumempengaruhi perilaku individu dalam memilih
suatu partai, ketiga variabletersebut adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi
terhadap partai. Secara psikologis, individu memilih suatu partai karena adanya
rasa kesetiaan dan cintanya pada partai tersebut.
b. Isu
yang sedang berkembang. Berdasar pada pertimbangan terhadap isu yang sedang
berkembang, individu memilih partai yang mereka anggap layak dan sanggup untuk
memimpin pemerintahan. Kelayakan dan kesanggupan suatu partai ditentukan oleh
isu yang sedang berkembang saat ini.
c.
Orientasi terhadap calon. Individu memilih suatu partai karena kualitas
personal kandidat tanpa memandang pada partai yang mendukungnya atau pada isu
yang sedang berkembang. Perilaku ini terbagi menjadi dua, pertama: kualitas
instrumental di mana pemilih melihat kemampuan kandidat dalam menangani suatu
masalah tertentu. Kedua: kualitas simbolis di mana pemilih mempunyai pandangan
bagaimanakah seharusnya figur pemimpin yang baik..
Dalam politik, basis
merujuk kepada sekelompok pemilih yang hampir selalu mendukung calon partai
tunggal untuk kantor terpilih. Basis pemilih sangat tidak mungkin untuk memilih
calon dari pihak lawan, terlepas dari pandangan spesifik masing-masing kandidat
memegang.
Di Amerika Serikat,
ini biasanya karena tingkat tinggi kandidat harus memegang sikap yang sama pada
isu-isu kunci sebagai dasar partai unruk mendapatkan nominasi partai dan dengan
demikian akses suara dijamin. Dalam kasus pemilu legislatif, pemilihan basa
biasanya lebih memilih untuk mendukung kandidat partai mereka melawan lawan
dinyatakan menarik untuk memperkuat peluang partainya memperoleh mayoritas
sederhana biasanya gateway untuk daya menyeluruh-dalam legislatif.
2.2.4 Tipe Partai
Politik
Menurut Haryanto,
parpol dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara umum dapat dibagi
mejadi dua kategori, yaitu:
1. Partai Massa, dengan ciri
utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang banyak. Meskipun demikian,
parta jenis ini memiliki program walaupun program tersebut agak kabur dan terlampau
umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok
yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk melaksanakan
kepentingan kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok tersebut tidak
terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri .
2. Partai Kader, kebalikan
dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya untuk loyal.
Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak
mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan
ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin
kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya.
Sedangkan tipologi
berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan kepentingan, menurut
Ichlasul Amal terdapat lima jenis partai politik, yakni:
a. Partai Proto, adalah tipe
awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini.
Ciri yang paling menonjol partai ini adalah pembedaan antara kelompok anggota
atau “ins” dengan non-anggota “outs”. Selebihnya partai ini belum menunjukkan
ciri sebagai partai politik dalam pengertian modern. Karena itu sesungguhnya
partai ini adalah faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan ideologi
masyarakat;
b. Partai Kader, merupakan
perkembangan lebih lanjut dari partai proto. Keanggotaan partai ini terutama
berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang dianut
partai ini adalah konservatisme ekstrim atau maksimal reformis moderat;
c. Partai Massa, muncul saat
terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai respon politis dan
organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan
lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa berorientasi pada pendukungnya
yang luas, misalnya buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi
cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup
rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya;
d. Partai Diktatorial,
sebenarnya merupakan sub tipe dari parti massa, tetapi meliki ideologi yang
lebih kaku dan radikal. Pemimpin tertinggi partai melakukan kontrol yang sangat
ketat terhadap pengurus bawahan maupun anggota partai. Rekrutmen anggota partai
dilakukan secara lebih selektif daripada partai massa;
e. Partai Catch-all,
merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all
pertama kali di kemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada
kecenderungan perubahan karakteristik. Catch-all dapat diartikan sebagai
“menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan
anggotanya”. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara
menawarkan program-program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai pengganti
ideologi yang kaku. (Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi
Revisi. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996)
Menurut Peter
Schroder, tipologi berdasarkan struktur organisasinya terbagi menjadi tiga
macam yaitu;
1. Partai Para Pemuka
Masyarakat, berupa gabungan yang tidak terlalu ketat, yang pada umumnya tidak
dipimpin secara sentral ataupun profesional, dan yang pada kesempatan tertentu
sebelum pemilihan anggota parlemen mendukung kandidat-kandidat tertentu untuk
memperoleh suatu mandat;
2. Partai Massa, sebagai
jawaban terhadap tuntutan sosial dalam masyarakat industrial, maka dibentuklah
partai-partai yang besar dengan banyak anggota dengan tujuan utama mengumpulkan
kekuatan yang cukup besar untuk dapat membuat terobosan dan mempengaruhi
pemerintah dan masyarakat, serta “mempertanyakan kekuasaan”;
3. Partai Kader, partai ini
muncul sebagai partai jenis baru dengan berdasar pada Lenin. Mereka dapat
dikenali berdasarkan organisasinya yang ketat, juga karena mereka termasuk
kader/kelompok orang terlatih yang personilnya terbatas. Mereka berpegangan
pada satu ideologi tertentu, dan terus menerus melakukan pembaharuan melalui
sebuah pembersihan yang berkseninambungan.
2.3 Fungsi-Fungsi Partai Politik
Fungsi utama partai politik adalah mencari dan
memperrtahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang berdasarkan
ideology tertentu. Ada pandangan yang berbeda secara mendasar mengenai partai
politik di Negara yang demokratis dan di negara yang otoriter. Perbedaan
pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanan tugas atau fungsi partai di
masing-masing Negara. Di Negara demokrasi partai relative dapat menjalankan
fungsinya sesuai dengan harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana
bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam mengelolah kehidupan bernegara dan
memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasa. Sebaliknya di Negara
otoriter, partai tidak dapat menunjukkan harkatnya, tetepi lebih bahwa
menjalankan kehendak penguasa.
Berikut ini diuraikan secara lebih lengkap fungsi
partai politik di Negara-negara demokratis, otoriter, dan Negara-negara
berkembang yang berada dalam transisi ke arah dekokrasi. Penjelasan fungsi
partai polituk di Negara otoriter akan di paparkan dalam contoh partai-partai
Negara-negara komunis pada masa jayanya.
2.3.1 Fungsi di Negara Demokrasi.
a . Sebagai sarana komunikasi
politik
Di masyarakat modern yang luas dan kompeks, banyak
ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pandapat atau aspirasi seseorang
atau suatu kelompok yang hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir,
apabila tidak ditampung dan di gabung dengan pendapat atau aspirasi orang lain
yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest
aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi di olah dan
dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan
kepentingan (interest articulation).
Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan kesimpang siuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik.
Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakann. Usul kebijakan ini dimasukkan ke dalam progam atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan atau di sampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah keatas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena I satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.
Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan kesimpang siuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik.
Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakann. Usul kebijakan ini dimasukkan ke dalam progam atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan atau di sampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah keatas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena I satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering
disebut sebagai pesantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of
ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak
sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras
suara”.
Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan
komunikasi politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideology sosial dengan lembaga pemerintah
yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat
politik yang lebih luas.
Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan meimbulkan kegelisahan dan keresahan dalam masyarakat. Misinformasi semacam itu menghambat berkembangnya kehidupan politik yang sehat.
Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan meimbulkan kegelisahan dan keresahan dalam masyarakat. Misinformasi semacam itu menghambat berkembangnya kehidupan politik yang sehat.
b. Sebagai Sarana Sosialisasi
Politik.
Dalam ilmu politik diartikan sebagai suatu proses yang
melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi tehadap fenomena politik
yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dai
proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme,
kelas sosial, suku bangsa, ideology, hak dan kewajiban . Dimensi lain dari
sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat
menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan
factor yang penting dalam terbentuknya budaya pilitik (political culture) suatu
bangsa.
Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush
(1992) :
Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali system politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik (political socialization may be depined is the prosess by which individuals in a given society become acquainted with the political system and which to a certain degree determines their perceptions and their reactions to political phenomena).
Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali system politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik (political socialization may be depined is the prosess by which individuals in a given society become acquainted with the political system and which to a certain degree determines their perceptions and their reactions to political phenomena).
Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama
dalam masa kanak-kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group,
tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai
politik, ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik
generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan
peran sebagai sarana sosialisasi politik.pelaksanaan fungsi sosialisasinya
dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan,
kursus karder, penataran dan sebagainya.
Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai adalah
upaya menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini
penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan
melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh
dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para pendukungnya
mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya.
Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai
politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik
anggota-anggitanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai
warga Negara dan menepatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional.
Secara khusus perlu disebutkan di sini bahwa di Negara-negara yang baru
merdeka, partai-partai politik juga di tuntut berperan memupuk identitas
nasional dan integrasi nasional. Ini adalah tugas lain dalam kaitannya dengan
sosialisasi politik.
Namun, tidak dapat disangkal adakalanya partai
mengutamakan kepentingan partai atas kepentingan nasional. Loyalitas yang
diajarkan adalah loyalitas kepada partai, yang melebihi loyalitas kepada
Negara. Dengan demikian ia mendidik pengikut-pengikutnya untuk melihat dirinya
dalam konteks yang sangat sempit. Pandangan ini malahan dapat mengakibatkan
pengotakan dan tidak membantu proses integrasi, yang bagi Negara-negara berkembang
menjadi begitu penting.
c. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
c. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi
kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional
yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader
yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi
partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan
mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pimpinannya
sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa
kepemimpinan nasional.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga
berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha
menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya
organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan
golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya,
kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin
kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk
menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan
rekrutmen politik yaitu melalui kontrak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara
lain.
d. Sebagai Sarana Pengatur
Konflik (Conflict Management)
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat,
apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku
bangsa), social-ekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan
potensi konflik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di Negara yang menganut
paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan
mendapat tempat. Akan tetapi di dalam Negara yang heterogen sifatnya, potensi
pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.
Disini paran partai diperlukan untuk membantu
mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga
akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat
menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga
meyakinkan pendukungnya.
Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend Lijphart (1968). Menurut Lijphart: Perbedaan-perbedaan atau perpecahan ditingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama diatara elite-elite politik. (Segmented or subcultural cleavegas at the mass level could be overcome by elite cooperation). Dalam konteks kepartaian, para pemimpin partai adalah elite politik.
Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend Lijphart (1968). Menurut Lijphart: Perbedaan-perbedaan atau perpecahan ditingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama diatara elite-elite politik. (Segmented or subcultural cleavegas at the mass level could be overcome by elite cooperation). Dalam konteks kepartaian, para pemimpin partai adalah elite politik.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat ,menjadi
penghubung psikologis dan organisasional antara warga Negara dengan
pemerintahannya. Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan srtikulasi
tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat.
Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes pemilihan
wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk menduduki
posisi-posisi ekskutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan
instrument untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik dinegara
demokrasi.
Di pihak lain dapat dilihat bahwa sering kali partai
melahan mempertajam pertentangan yang ada. Dan jika hal ini terjadi dalam suatu
masarakat yang redah kadar consensus nasionalnya, peran semacan ini dapat membahayakan
stabuilitas politik.
2.3.2 Fungsi di Negara Otoriter.
Hal-hal yang dijelaskan dibagian terdaluhu adalah fungsi-fungsi partai
menurut pandangan yang berkembang dinegara yang menganut paham demokrasi. Kini,
marilah kita lihat bagaimana paham Negara otoriter, misanya bagaimana komunisme
di Uni Soviet memandang paham politik. Pada kenyataanya pandangan tersebut
memang berbeda. Contoh lain Negara yang otoriter adalah China dan Kuba.
Tetapi disini hanya dibahas komunisme di Uni Soviet masa lampau.
Menurut paham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah parati komunis berkuasa di Negara di mana partai komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain dianggap sebagai mewakili kepentingan kelas tertentu yang tidak dapat bekerja untuk kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu, partai komunis akan mempergunakan setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti yang banyak terdapat di Negara-negara demokrasi) untuk untuk mencari dukungan seluas-luasnya. Partai ini menjadi paling efektif di Negara yang pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya kurang bersatu.
Menurut paham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah parati komunis berkuasa di Negara di mana partai komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain dianggap sebagai mewakili kepentingan kelas tertentu yang tidak dapat bekerja untuk kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu, partai komunis akan mempergunakan setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti yang banyak terdapat di Negara-negara demokrasi) untuk untuk mencari dukungan seluas-luasnya. Partai ini menjadi paling efektif di Negara yang pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya kurang bersatu.
Akibat karakter nya yang demikian,
partai komunis sering dicurigai dan dibeberapa Negara bahkan dilarang. Akan
tetapi tindakan semacam itu juga ada bahayanya. Sebab dalam keadaan seperti itu
partai akan bergerak di bawah tanah, sehingga justru sukar diawasi.
Apabila tidak menemukan jalan untuk merebut kekasaan, partai akan mencoba
mencapai tujuannya melalui kerja sama dengan partai-partai lain dengan
mendirikan Front Rakyat atau Front Nasional (popular front tactics).
Berbeda halnya apabila partai komunis berkuasa. Disini partai komunis
mempunyai kedudukan monopolistis, dan kebebasan bersaing ditiadakan. Dapat saja
ia menentukan dirinya sebagai partai tunggal atau sekurang-kurangnya sebagai
partai yang paling dominan, seperti yang terjadi di Uni Soviet, China, dan
Negara-negara komunis Eropa Timur.
Tujuan partai komunis adalah membawa masyarakat ke arah terciptanya masyarakat yang modern dengan ideology komunis, dan partai berfungsi sebagai “pelopor revolusioner” untuk mencapai tujuan itu. Partai Komunis Uni Soviet yang berkuasa dari tahun 1917 sampai 1991 merupakan partai seperti itu.
Tujuan partai komunis adalah membawa masyarakat ke arah terciptanya masyarakat yang modern dengan ideology komunis, dan partai berfungsi sebagai “pelopor revolusioner” untuk mencapai tujuan itu. Partai Komunis Uni Soviet yang berkuasa dari tahun 1917 sampai 1991 merupakan partai seperti itu.
Partai komunis memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep
jabatan rangkap. Begitu pula halnya dengan pemimpin semua badan kenegaraan
seperti bdan ekskutif dan badan yudikatif. Sekretaris Partai Komunis lebih
berkuasa dari presiden (ketua presidium). Maka dari itu Uni Soviet sering
dinamakan Negara totaliter.
Fungsi sebagai sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga Negara kea rah kehidupan dan cara berpikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan oleh partai. Dinegara-negara demokrasi partai berperan untuk menyelenggarakan integrasi warga Negara kedalam masyarakat umum.
Fungsi sebagai sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga Negara kea rah kehidupan dan cara berpikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan oleh partai. Dinegara-negara demokrasi partai berperan untuk menyelenggarakan integrasi warga Negara kedalam masyarakat umum.
Partai juga berfungsi sebagai sarana rekrutan politik.calon anggota harus
menjalani masa percobaan di mana ia harus memenuhi standart-standart ketat
mengenai pangabdian dan kelakuan. Yang ditetapkan oleh partai komunis. Akan
tetapi karena iklim politik tidak kompetitif maka pemilihan umum tidak
merupakan sarana untuk memilih pemimpin Negara. Razim ini dapat dikategorikan
sebagai :”Sosialisme negara dimana control politik ada di tangan partai komunis
yang bersifat monopolistic dan hierakis, dan di mana ekonomi
diatur atas dasar kolektivitas dan perencanaan ekonomi terpusat dari Negara”.
Pada akhir decade 80-an terjadi pergolakan melawan rezim represif, yang berakhir dengan budayanya Uni Soviet pada tahun 1991 dengan terbetuknya Commonwealth of Independent States.
diatur atas dasar kolektivitas dan perencanaan ekonomi terpusat dari Negara”.
Pada akhir decade 80-an terjadi pergolakan melawan rezim represif, yang berakhir dengan budayanya Uni Soviet pada tahun 1991 dengan terbetuknya Commonwealth of Independent States.
Dari uraian tadi dijelaskan kalau dikatakan bahwa fungsi partai politik di
Negara komunis berbeda dengan partai dalam Negara yang demokratis. Mengenai
perbedaan ini Sigmund Neumann menjelaskannya sebagai berikut : jika di Negara
demokrasi partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam
masyarakat, maka partai komunis berfungsi sebagai pengendali semua aspek
kehidupan secara monolitik. Jika dalam masyarakat demokratis partai berusaha
menyelenggarakan integrasi warga Negara kedalam masyarakat umum, peran paartai
komunis ialah untuk memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara
hidup yang sejalan dengan kepentingan partai (enforcement of conformity). Kedua
fungsi ini diselenggaraakan melalui propaganda dari atas kebawah.
2.1.3 Fungsi di Negara-negara Berkembang
Dinegara-negara berkembang keadaan politik sangat berbeda satu sama lain.
Partai-partai politik umumnya lemah organisasinya dan jarang memiliki dukungan
massa yang luas dan kukuh.partai politik berhdapan dengan berbagai masalah
seperti kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, pembagaian pendapatan yang
timpang dan tingkat buta huruf yang tinggi.
Di beberapa Negara fungsi yang agak sukar dilaksanakan ialah sebagai
jembatan antara “yang memerintah” dan “yang Diperintah”. Sering golongan
pertama banyak orang kaya, sedangkan golongan yang “diperintah” banyak mecakup
orang miskin.dengan demikian jurang di antara kedua belah pihak sukar
dijembatani.masalah seperti ini dapat mengalihkan perhatian, jauh dari usaha
mengatasi masalah kemiskinan dan masalah-masalah pembangunan lainnya yang
menjadi sasaran utama dalam masyarakat-masyarakat berkembang.
Satu peran yang sangat diharapkan dari partai politik adalah sebagai sarana
untuk meperkembangkan integrasi nasional dan memupuk identitas nasional. Akan
Tetapi pengalaman dibeberapa negara menunjukkan bahwa partai politik sering
tidak mampu membina integrasi, akan tetapi malah menimbulkan pengotaan dan
pertentangan yang mengeras.
Karena pengalaman tersebut diatas, banyak kritik telah dilontarkan kepada
partai-partai politik, dan bebrapa alternatif telah diikhtiarkan. Salah satu
jalan keluar diusahakan dengan jalan meniadakan partai sama sekali. Hal ini
telah dilakukan oleh Jendral Ayun Khan dari Pakistan dari tahun 1958; bahkan
parlemen dibubarkan. Akan tetapi setelah beberapa waktu partai-partai muncul
kembali melalui suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen baru, dan
Presiden Ayub Khan sendiri menggabungkan diri dengan salah satu partai politik.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa sekalipun partai politik banyak segi
negatifnya, pda dasarnya kehadiran sert perannya dinegara-negara berkembang
masih penting dan sukar dicarikan alternatifnya.
Pengalaman lain dibeberapa negara berkembang ialah bahwa jika lembaga-lembaga
politik gagal memainkan peran yang diharapkan, akan terjadi campur tangan oleh
pihak militer, hal ini sering terjadi jika masa instabilitas berjalan agak lama
dan pergolakan politik sangat insentif. Dalam situasi seperti itu golongan
militer mungkin merupakan satu-satunya kelompok yang terorganisir dan yang,
berkat disiplin dan fasilitas yang dimilikinya, berada dalam kedudukan yang
lebih menguntungkan dari pada kelompok lain. Campur tangan dari pihak militer
biasanya terjadi dengan dalih untuk menghindarkan kemunduran yang leabih gawat
atau timbulnya perang saudara.Sekali kekuasaan diambil alih oleh kaum militer,
maka sukar sekali untuk mengembalikan kekuasaan ketangan orang sipil.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di negara-negara berkembang
partai politik, sekalipun memiliki kelemahan, masih tetap dianggap sebagai
sarana penting dalam kehidupan pelitiknya.
Usaha melibatkan partai politik dan golongan-golongan politik lainnya dalam
proses pembangunan dalam segala aspek dan dimensinya, merupakan hal yang amat
utama dalam negara yang ingin membangun suatu masyarakat atas dasar pemerataan
dan keadilan sosial. Jika partai dan golongan-golongan politik lainya diberi
kesempatan untuk berkembang, mungkin ia dapat mencari bentuk partisipasi yang dapat
menunjang untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di negara itu. Mungkin
bentuk ini dalam banyak hal akan berbeda dengan partai di negara yang sudah
mapan, karena disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan dalam negeri.
Setidak-tidaknya dinegara yang keabsahan pemerintahnya sedikit banyak diuji
oleh berjuta-juta rakyat dalam pemilihan umum berkala, partai-partai politik
dan organisasi kekuatan sosial
politik lainya menduduki tempat yang krusial.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum kita dapat mendefinisikan bahwa parai
politik adalah suatu kelompok yang teroganisir yang anggota-anggotanya
memppunyai sebuah orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan
kelompok ini adalah memperoleh sebuah kekuasaan politik dan merebut kedudukan
politik yang biasanya di raih lewat konstitusional untuk melakukan
kebijakan-kebijakan dalam mencapai tujuan mereka.
Perlu diterangkan bahwa partai politik sangat berbeda
dengan gerakan (movement) dan berbeda juga dengan kelompok penekan (pressur
group) atau istilah yang lebih banyak digunakan pada dewasa ini yang memang
memperjuangkan suatu kepentingan kelompok, atau memang ingin melakukan
perubahan terhadap paradigma masyarakat kearah yang lebih baik.
3.2 Saran
Untuk tetap memperbaiki citra partai politik sebagai
institusi demokrasi, tentu partai politik lebih maksimal memikirkan nasib
masyarakat ketimbang memperebutkan kursi kekuasaan. Sedangkan dalam konteks
konflik internal partai politik, meminimalisir mungkin adanya sikap politik yang
bisa merusak citra partai politik itu sendiri, tetap membuka adanya ruang bagi
kedua pihak yang bertikai untuk melakukan komunikasi politik yang lebih sehat
dan lebih konsisten pada aturan main organisasi.Konflik tentu tidak bisa
dihindari, tetapi partai politik juga harus memberikan ruang bagi terbangunnya
suatu sistem manajemen konflik yang lebih baik. Agar konflik personal maupun
kelompok maupun yang terjadi diluar partai tidak bisa berkembang, mampu
kendalikan sehingga tidak melahirkan suasana ketegangan yang apalagi perlaku
negatif yang bisa merusak. Manajemen konflik juga penting dalam mengelola
masalah tersebut sebelum diselesaikan secara organisasi, atau minimal bisa
secara efektif mencegah adanya perpecahan ditubuh partai. Sebagaimana yang
dipikirkan oleh Ross (1993) sebagai seorang ahli dalam manajemen konflik, bahwa
manajemen konflik berupa penyelesaian konflik dan bisa jadi menghasilkan
ketenangan, hal positif, mufakat dan lebih kreatif. Masih ada waktu bagi para
pemimpin partai untuk melakukan perubahan di dalam partainya. Kepemimpinan
kharismatis haruslah diabdikan untuk kepentingan semua kader, bukan kelompok.
Kepemimpinan model itu harus dipadukan dengan manajemen pengelolaan partai yang
modern, terbuka dan demokratis, termasuk dalam mengelolah konflik. Hanya dengan
menerapkan manajemen modern, partai bisa eksis dan mendapat simpati
pendukungnya.
DAFTAR PUSTAKA
www.anneahira.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar