Senin, 15 April 2013

partai politik



BAB II
PEMBAHASAN
2.1      Definisi Partai Politik
Partai politik merupakan organisasi politik yang dapat berperan sebagai penyalur aspirasi masyarakat, dimana partai politik menjadi penghubung antara penguasa dan kuasaan. Adanya partai politik membuat rakyat dapat terlibat secara langsung dalam proses penyelenggaraan negara dengan menempatkan wakilnya melalui partai politik. Secara umum partai politik dikatakan sebagai suatu kelompok yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama, yang berusaha memperoleh kekuasaan melalui pemilihan umum.
Pengertian partai politik dalam UU No. 31 Tahun 2002 pasal 1 (1) adalah:
“Organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum”.
Ramlan Surbakti mendefinisikan partai politik sebagai : “Kelompok anggota yang terorganisasikan secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun”. (Surbakti, 1992:116)
Inu Kencana dkk, mengemukakan definisi partai politik sebagai : “Sekelompok orang-orang memiliki ideologi yang sama, berniat merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level negara”. (Kencana dkk, 2002:58)
Sigmun Neuman seperti yang dikutip oleh Miriam Budiardjo dalam bukunya “Partisipasi Politik dan partai Politik” mengemukakan definisi partai politik sebagai berikut : “Partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuasaan-kekuasaan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas”. (Neuman dalam Miriam Budiardjo, 1998:16-17)
J. A. Corry dan Henry J. Abraham mengungkapkan pendapatnya tentang partai politik seperti yang dikutip oleh Haryanto dalam bukunya “Partai Politik Suatu Tinjauan Umum”, yaitu : “Political party is a voluntary association aiming to get control of the government by filling elective offices in the government with its members (Partai politik merupakan suatu perkumpulan yang bermaksud untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan dengan cara menempatkan para anggotanya pada jabatan-jabatan pemerintahan)”. (Corry dan dalam Haryanto, 1984:9)
Dari berbagai definisi di atas, dapat dilihat bahwa tujuan utama partai politik adalah menguasai pemerintahan sehingga mereka dapat lebih leluasa melaksanakan keinginan-keinginan mereka serta mendapatkan keuntungan. Partai politik berbeda dengan gerakan (movement). Suatu gerakan biasanya menggunakan politik untuk mengadakan suatu perubahan terhadap suatu tatanan yang ada dalam masyarakat, bahkan ada yang sampai ingin menciptakan tatanan masyarakat yang benar-benar baru. Partai politik memiliki tujuan yang lebih luas dari sekedar perubahan, partai politik juga ikut mengadu nasibnya dalam pemilihan umum.
Partai politik juga berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau yang lebih dikenal dengan kelompok kepentingan (inters group).Kelompok kepentingan hanya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan tertentu dengan mempengaruhi pembuat keputusan. Kelompok kepentingan biasanya berada di luar partai politik, yaitu berasal dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
2.2      Sejarah dan Asal Usul Partai Politik
2.2.1    Sejarah partai politik
a.         Sejarah Partai Politik di Dunia
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat bersamaan dengan gagasan bahwa rakyat merupakan fakta yang menentukan dalam proses politik. Dalam hal ini partai politik berperan sebagai penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di lain pihak. Maka dalam perkembangannya kemudian partai politik dianggap sebagai menifestasi dari suatu sistem politik yang demokratis, yang mewakili aspirasi rakyat.
Pada permulaannya peranan partai politik di negara-negara Barat bersifat elitis dan aristokratis, dalam arti terutama mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan tersebut meluas dan berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh perlunya dukungan yang menyebar dan merata dari semua golongan masyarakat. Dengan demikian terjadi pergeseran dari peranan yang bersifat elitis ke peranan yang meluas dan populis.
Perkembangan selanjutnya adalah dari Barat, partai politik mempengaruhi dan berkembang di negara-negara baru, yaitu di Asia dan Afrika. Partai politik di negara-negara jajahan sering berperan sebagai pemersatu aspirasi rakyat dan penggerak ke arah persatuan nasional yang bertujuan mencapai kemerdekaan. Hal ini terjadi di Indonesia (waktu itu masih Hindia Belanda) serta India. Dan dalam perkembanganya akhir-akhir ini partai politik umumnya diterima sebagai suatu lembaga penting terutama di negara-negara yang berdasarkan demokrasi konstitusional, yaitu sebagai kelengkapan sistem demokrasi suatu negara.
b.         Sejarah partai politik di Indonesia
Parpol yang pertama ada di Indonesia adalah De Indische Partij yang pada 25 Desember 1912 dibentuk Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Tujuan parpol itu adalah mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Sekalipun paham Indonesia baru ditegaskan pada 28 Oktober 1928 dalam Sumpah Pemuda, namun para pendiri parpol ini sudah dilandasi oleh pikiran bahwa seluruh rakyat Hindia Belanda merupakan kesatuan.
Pada tahun 1911 Haji Samanhudi membentuk Sarikat Dagang Islam (SDI) sebagai organisasi untuk mengejar perbaikan nasib rakyat Indonesia dalam daerah jajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1912 Haji Oemar Said Tjokroaminoto memberikan kepada SDI nama baru, yaitu Sarikat Islam (SI), karena hendak meluaskan perjuangannya tidak terbatas pada bidang ekonomi saja. Dengan begitu SI juga melakukan perjuangan politik. Meskipun tidak secara resmi dinamakan partai politik, tetapi melihat sifat perjuangannya SI adalah satu parpol. Maka boleh dikatakan bahwa sejarah parpol di Indonesia bermula pada tahun 1912.
Setelah itu telah berkembang berbagai parpol di Indonesia, baik yang berorientasi nasionalisme, agama maupun sosialisme. Di masa penjajahan Belanda jelas sekali bahwa mayoritas parpol bertujuan mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia, kecuali beberapa parpol yang dibentuk orang-orang Belanda atau orang-orang yang dekat dengan kepentingan penjajahan Belanda. Yang menonjol adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mulanya bernama Perserikatan Nasional Indonesia, dibentuk pada 4 Juli 1927 oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr. Iskak Tjokrohadisuryo dan Mr. Sunaryo . Kemudian pada tahun 1928 berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia dan dipimpin Ir Sukarno atau Bung Karno yang pada 17 Agustus 1945 bersama Drs Mohamad Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia atas nama rakyat Indonesia.
Pada 1 Juni 1945 Bung Karno menyampaikan pandangannya depan Panitya Persiapan Kemerdekaan tentang Pandangan Hidup Bangsa (Weltanschauung). Uraian yang beliau beri nama Pancasila kemudian diterima sidang dan kemudian dengan beberapa perubahan redaksional ditetapkan sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Sejak permulaan berdirinya Republik Indonesia ada partai politik. Semula hendak dibentuk parpol tunggal, tapi kemudian dimungkinkan berdirinya banyak parpol. Itu berarti bahwa parpol oleh para Pendiri Negara tidak dinilai bertentangan dengan pandangan hidup Pancasila, sekalipun asal mulanya di masyarakat Barat yang dasarnya individualisme dan liberalisme. Namun karena berada dalam masyarakat dengan dasar Pancasila, parpol itu menyesuaikan eksistensi dan perilakunya dengan nilai dasar Pancasila, yaitu Perbedaan dalam Kesatuan dan Kesatuan dalam Perbedaan.
Tabel
Sejarah Perkembangan Partai Politik Indonesia 1908-1998
Periode
Pemerintahan
Periode Demokrasi
Jumlah Partai
1908-1942
Zaman Kolonial
Multipartai
1942-1945
Zaman Pendudukan Jepang
Tidak ada
22 Agustus 1945-
14 November 1945
Sistem Presidensiil
1. 22 Agustus 1945
2. 3 November 1945
Satu partai (PNI)
Multipartai
14 November 1945-1950
1950-1959
Demokrasi Parlementer
14 November 1945
1955
Mulai sistem parlementer
Pemilu dengan lebih dari 20 partai
1959-1965
Demokrasi Terpimpin
1959
2. 1960
Dikeluarkan penpres 7/1959 (mencabut maklumat Pemerintah 3 November 1945 dan melakukan penyederhanaan partai). Hanya 10 partai yang diakui (PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti), sedangkan Masjumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960..
dibentuk Front Nasional yang mewakili semua kekuatan politik termasuk PKI, Front Nasional ini memberikan kesempatan kepada golongan fungsional dan ABRI yang sebelumnya kurang berpartisipasi. PKI dapat masuk ke Front Nasional karena didasarkan prinsip NASAKOM
1965-1998
Demokrasi Pancasila
1966
7 Juli 1967
1967-1969
1973
1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997
1982
1984
1996
PKI dan Partindo dibubarkan
Konsensus Nasional a.1. 100 anggota DPR diangkat
Eksperimen Dwipartai dan Dwigroup dilakukan dibeberapa Kabupaten di Jawa Barat, namun dihentikan pada awal 1969.
Penggabungan Partai menjadi tiga orsospol (9 partai + 1 Golongan Karya)
Pemilu hanya diikuti oleh 3 orsospol (sistem multipartai terbatas)
Pancasila satu-satunya asas
NU Khittah
PDI pecah
1998
21 Mei 1998
Reformasi dengan multipartai


c.         Masa penjajahan Belanda.
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.

Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasinal untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan Rakyat , gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.

Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islamil A”laa Indonesia) yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh.

d.         Masa pendudukan Jepang

Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.

e.         Masa Merdeka (mulai 1945).

Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.

Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin.

Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir September 1965).

Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih leluasa dibanding dengan msa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah munculnya organisasi kekuatan politik bar yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar munculsebagai pemenang partai diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.

Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai politik. Empat partai politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan Perti bergabung menjadi Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Parati Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun 1977 hanya terdapat 3 organisasi keuatan politik Indonesia dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1997.

f.          Partai Politik di Indonesia masa kini
Setelah terjadi Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 kehidupan bangsa sangat berbelok ke sifat-sifat yang mengarah ke pandangan hidup Barat, yaitu individualisme dan liberalisme. Politik luar negeri AS yang sejak berakhirnya Perang Dingin sangat kuat mengusahakan agar bangsa-bangsa di dunia mengikuti pandangan hidupnya, besar dampaknya di Indonesia. Hal itu juga dimungkinkan oleh dukungan sementara pihak di Indonesia yang mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dengan AS. Usaha itu antara lain berhasil melakukan amandemen 4 kali terhadap UUD 1945 sehingga isinya sudah amat mengarah kepada kehidupan berdasarkan individualisme dan liberalisme.
Sebagai akibat dari perubahan itu makin menguat pandangan tentang kebebasan individu yang mutlak seperti yang ada di Barat, serta makin lemahnya sikap Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Perubahan itu juga berdampak pada parpol di Indonesia. Parpol berperilaku sebagai individu yang bebas dan kuasa penuh tanpa konsiderasi terhadap Kesatuan, yaitu kepentingan masyarakat dan bangsa. Parpol secara terus terang mengejar pencapaian kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan yang tidak peduli kepada kepentingan umum. Anggota parpol yang duduk dalam Pemerintah dan Legislatif bukan berfungsi sebagai wakil Rakyat, melainkan sebagai wakil parpol. Sikap dan perilaku parpol yang sudah amat menyeleweng dari kaidah yang berlaku dalam Pancasila diperparah lagi oleh sikap dan perilaku banyak anggotanya. Anggota parpol menunjukkan sikap dan perilaku sesuai dasar kebebasan penuh-mutlak seperti dalam pandangan Barat dan tidak menghiraukan harmoni dan keselarasan sebagaimana ditetapkan Pancasila. Kaum politik yang juga makin kuat dipengaruhi cara berpikir Barat mengejar kepentingannya dengan membentuk parpol tanpa menghiraukan apakah parpol itu memperjuangkan platform tertentu. Akibatnya adalah tumbuhnya jumlah parpol yang tidak terkendali tanpa ada identitas politik tertentu bagi masing-masing parpol. Yang membedakannya adalah hanya nama orang yang memimpin parpol itu. Keadaan demikian menimbulkan kehidupan politik yang jauh dari mendukung terwujudnya kesejahteraan bangsa.
Untuk membangun kondisi parpol yang sesuai dengan kepentingan masyarakat dan bangsa diperlukan syarat utama kembalinya Pancasila sebagaiDasar Negara RI secara nyata. Untuk itu haruslah pertama-tama UUD 1945 dikembalikan kepada keadaanya yang asli sebelum ada amandemen. Kalau toh dinilai perlu ada perbaikan pada isi UUD1945, hal itu dilakukan setelah kembali ke keadaan semula dengan mengadakan perbaikan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pebaikan tidak dalam bentuk amandemen, melainkan sebagai addendum. Kalau ada orang mengatakan bahwa Pancasila adalah satu ideologi terbuka, itu tidak berarti bahwa Pancasila dapat diubah dengan nilai-nilai yang bertentangan dan berbeda dengan Pancasila. Sebab Pancasila adalah Isi Jiwa bangsa Indonesia, maka mengubah Pancasila berarti menghasilkan Jati Diri lain yang bukan bangsa Indonesia.
Berdasarkan UUD 1945 yang asli dibuat UU Partai Politik yang sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Hal ini merupakan landasan bagi tempat dan peran Partai Politik dalam sistem Pancasila yang tidak mungkin sama dengan tempat dan peran parpol dalam sistem Barat. Hal ini pasti mendapat perlawanan dari mereka yang sudah memperoleh keuntungan dari penyelewengan yang terjadi di Indonesia. Mereka membanggakan Indonesia sekarang sebagai Negara Demokrasi Ketiga Terbesar di dunia, setelah India dan AS. Buat mereka demokrasi hanyalah demokrasi Barat, demokrasi liberal. Kalau tidak itu maka itu bukan demokrasi. Atas dasar itu mereka mengatakan bahwa merupakan kesalahan besar mengubah keadaan sekarang, sebab mereka tidak peduli bahwa itu menimbulkan kondisi yang merugikan secara mendasar kepentingan masyarakat dan bangsa. Mereka menjustifikasi berbagai keadaan yang buruk sekarang sebagai hal yang lumrah dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Sesuai dengan perkembangan internasional, mereka akan mendapat dukungan terbuka atau terselubung dari negara-negara yang berorientasi Barat dan mempunyai kepentingan di Indonesia. Sebab itu seluruh Rakyat Indonesia yang dirugikan oleh perkembangan sekarang yang menyeleweng dari Dasar Negara RI harus menyatukan barisan dan memperjuangkan dengan tekad dan komitmen kuat agar UUD 1945 yang asli berlaku kembali di NKRI.
2.2.2    Asal usul partai politik
Ramlan Surbakti dalam bukunya “Memahami Ilmu Politik”mengemukakan tiga teori tentang asal-usul partai politik, yaitu :
a.         Teori Kelembagaan
Teori ini mengatakan bahwa partai politik ada karena di bentuk oleh kalangan legislatif (dan atau eksekutif) karena kedua anggota lembaga tersebut ingin mengadakan kontak dengan masyarakat sehubung dengan pengangkatannya, agar tercipta hubungan dan memperoleh dukungan dari masyarakat maka terbentuklah partai politik. Ketika partai politik bentukan pemerintah dianggap tidak bisa menampung lagi aspirasi masyarakat, maka pemimpin kecil masyarakat berusaha membentuk partai-partai lain.
b. Teori Situasi Historis
Teori ini menjelaskan tentang krisis situasi historis yang terjadi manakala suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari struktur masyarakat tradisional kearah struktur masyarakat modern. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan yang menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi. Partai politik lahir sebagai upaya dari sistem politik mengatasi krisis yang terjadi. Partai politik diharapkan dapat berakar kuat dalam masyarakat untuk dapat mengendalikan pemerintahan sehingga terbentuk pola hubungan yang berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat. Terbukanya partai bagi setiap anggota masyarakat dari berbagai golongan mengharapkan partai politik dapat menjadi alat integrasi bangsa. Dengan adanya partai politik juga masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum.
c. Teori Pembangunan
Menurut teori ini partai politik lahir sebagai akibat dari adanya proses modernisasi sosial-ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi lingkungan, melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut. Maka lahirlah partai politik, dengan harapan agar organisasi politik tersebut mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi yang ada.
Berdasarkan teori asal-usul terbentuknya partai politik di atas, penulis dapat mengkategorikan bahwa Partai Demokrat terbentuk berdasarkan teori situasi historis. Partai Demokrat lahir karena adanya keinginan untuk memperbaiki bangsa yang sedang dilanda krisis multidimensi karena partai-partai politik yang berkuasa sebelumnya dianggap gagal.
2.2.3 Basis Partai Politik
Suatu partai mendasarkan kekuatannya pada dukungan satu atau beberapakelompok yang mempunyai orientasi dan tujuan-tujuan politik yang sama, dengankata lain partai berdiri di atas suatu dukungan basis sosial. Di sini basis sosialdiartikan sebagai satu atau beberapa orang yang menjadi pendukung utama darisuatu partai politik. Hal tersebut mengaitkan tingkat atau kualitas kesetiaanpartisipasi dan pemberian suara oleh pemilih kepada partainya dalam pemilu.Menurut Angus Campbell, ada tiga variable utama yang mampumempengaruhi perilaku individu dalam memilih suatu partai, ketiga variabletersebut adalah sebagai berikut :
a.         Identifikasi terhadap partai. Secara psikologis, individu memilih suatu partai karena adanya rasa kesetiaan dan cintanya pada partai tersebut.
b.         Isu yang sedang berkembang. Berdasar pada pertimbangan terhadap isu yang sedang berkembang, individu memilih partai yang mereka anggap layak dan sanggup untuk memimpin pemerintahan. Kelayakan dan kesanggupan suatu partai ditentukan oleh isu yang sedang berkembang saat ini.
c.         Orientasi terhadap calon. Individu memilih suatu partai karena kualitas personal kandidat tanpa memandang pada partai yang mendukungnya atau pada isu yang sedang berkembang. Perilaku ini terbagi menjadi dua, pertama: kualitas instrumental di mana pemilih melihat kemampuan kandidat dalam menangani suatu masalah tertentu. Kedua: kualitas simbolis di mana pemilih mempunyai pandangan bagaimanakah seharusnya figur pemimpin yang baik..
Dalam politik, basis merujuk kepada sekelompok pemilih yang hampir selalu mendukung calon partai tunggal untuk kantor terpilih. Basis pemilih sangat tidak mungkin untuk memilih calon dari pihak lawan, terlepas dari pandangan spesifik masing-masing kandidat memegang.
Di Amerika Serikat, ini biasanya karena tingkat tinggi kandidat harus memegang sikap yang sama pada isu-isu kunci sebagai dasar partai unruk mendapatkan nominasi partai dan dengan demikian akses suara dijamin. Dalam kasus pemilu legislatif, pemilihan basa biasanya lebih memilih untuk mendukung kandidat partai mereka melawan lawan dinyatakan menarik untuk memperkuat peluang partainya memperoleh mayoritas sederhana biasanya gateway untuk daya menyeluruh-dalam legislatif.
2.2.4    Tipe Partai Politik
Menurut Haryanto, parpol dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara umum dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu:
1.         Partai Massa, dengan ciri utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang banyak. Meskipun demikian, parta jenis ini memiliki program walaupun program tersebut agak kabur dan terlampau umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk melaksanakan kepentingan kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok tersebut tidak terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri .
2.         Partai Kader, kebalikan dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya untuk loyal. Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya.
Sedangkan tipologi berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan kepentingan, menurut Ichlasul Amal terdapat lima jenis partai politik, yakni:
a.         Partai Proto, adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini. Ciri yang paling menonjol partai ini adalah pembedaan antara kelompok anggota atau “ins” dengan non-anggota “outs”. Selebihnya partai ini belum menunjukkan ciri sebagai partai politik dalam pengertian modern. Karena itu sesungguhnya partai ini adalah faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan ideologi masyarakat;
b.         Partai Kader, merupakan perkembangan lebih lanjut dari partai proto. Keanggotaan partai ini terutama berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang dianut partai ini adalah konservatisme ekstrim atau maksimal reformis moderat;
c.         Partai Massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa berorientasi pada pendukungnya yang luas, misalnya buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya;
d.         Partai Diktatorial, sebenarnya merupakan sub tipe dari parti massa, tetapi meliki ideologi yang lebih kaku dan radikal. Pemimpin tertinggi partai melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap pengurus bawahan maupun anggota partai. Rekrutmen anggota partai dilakukan secara lebih selektif daripada partai massa;
e.         Partai Catch-all, merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all pertama kali di kemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan karakteristik. Catch-all dapat diartikan sebagai “menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai pengganti ideologi yang kaku. (Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi Revisi. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996)
Menurut Peter Schroder, tipologi berdasarkan struktur organisasinya terbagi menjadi tiga macam yaitu;
1.         Partai Para Pemuka Masyarakat, berupa gabungan yang tidak terlalu ketat, yang pada umumnya tidak dipimpin secara sentral ataupun profesional, dan yang pada kesempatan tertentu sebelum pemilihan anggota parlemen mendukung kandidat-kandidat tertentu untuk memperoleh suatu mandat;
2.         Partai Massa, sebagai jawaban terhadap tuntutan sosial dalam masyarakat industrial, maka dibentuklah partai-partai yang besar dengan banyak anggota dengan tujuan utama mengumpulkan kekuatan yang cukup besar untuk dapat membuat terobosan dan mempengaruhi pemerintah dan masyarakat, serta “mempertanyakan kekuasaan”;
3.         Partai Kader, partai ini muncul sebagai partai jenis baru dengan berdasar pada Lenin. Mereka dapat dikenali berdasarkan organisasinya yang ketat, juga karena mereka termasuk kader/kelompok orang terlatih yang personilnya terbatas. Mereka berpegangan pada satu ideologi tertentu, dan terus menerus melakukan pembaharuan melalui sebuah pembersihan yang berkseninambungan.

2.3      Fungsi-Fungsi Partai Politik
Fungsi utama partai politik adalah mencari dan memperrtahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang berdasarkan ideology tertentu. Ada pandangan yang berbeda secara mendasar mengenai partai politik di Negara yang demokratis dan di negara yang otoriter. Perbedaan pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanan tugas atau fungsi partai di masing-masing Negara. Di Negara demokrasi partai relative dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam mengelolah kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasa. Sebaliknya di Negara otoriter, partai tidak dapat menunjukkan harkatnya, tetepi lebih bahwa menjalankan kehendak penguasa.
Berikut ini diuraikan secara lebih lengkap fungsi partai politik di Negara-negara demokratis, otoriter, dan Negara-negara berkembang yang berada dalam transisi ke arah dekokrasi. Penjelasan fungsi partai polituk di Negara otoriter akan di paparkan dalam contoh partai-partai Negara-negara komunis pada masa jayanya.
2.3.1    Fungsi di Negara Demokrasi.

a .        Sebagai sarana komunikasi politik
Di masyarakat modern yang luas dan kompeks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pandapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok yang hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan di gabung dengan pendapat atau aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi di olah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation).
Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan kesimpang siuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik.
Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakann. Usul kebijakan ini dimasukkan ke dalam progam atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan atau di sampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah keatas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena I satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai pesantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”.
Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideology sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan meimbulkan kegelisahan dan keresahan dalam masyarakat. Misinformasi semacam itu menghambat berkembangnya kehidupan politik yang sehat.
b.         Sebagai Sarana Sosialisasi Politik.
Dalam ilmu politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi tehadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dai proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideology, hak dan kewajiban . Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan factor yang penting dalam terbentuknya budaya pilitik (political culture) suatu bangsa.
Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush (1992) :

Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali system politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik (political socialization may be depined is the prosess by which individuals in a given society become acquainted with the political system and which to a certain degree determines their perceptions and their reactions to political phenomena).
Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik, ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik.pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus karder, penataran dan sebagainya.
Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai adalah upaya menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya.
Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggitanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga Negara dan menepatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Secara khusus perlu disebutkan di sini bahwa di Negara-negara yang baru merdeka, partai-partai politik juga di tuntut berperan memupuk identitas nasional dan integrasi nasional. Ini adalah tugas lain dalam kaitannya dengan sosialisasi politik.
Namun, tidak dapat disangkal adakalanya partai mengutamakan kepentingan partai atas kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan adalah loyalitas kepada partai, yang melebihi loyalitas kepada Negara. Dengan demikian ia mendidik pengikut-pengikutnya untuk melihat dirinya dalam konteks yang sangat sempit. Pandangan ini malahan dapat mengakibatkan pengotakan dan tidak membantu proses integrasi, yang bagi Negara-negara berkembang menjadi begitu penting.

c.         Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pimpinannya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik yaitu melalui kontrak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.
d.         Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), social-ekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di Negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam Negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.
Disini paran partai diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.
Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend Lijphart (1968). Menurut Lijphart: Perbedaan-perbedaan atau perpecahan ditingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama diatara elite-elite politik. (Segmented or subcultural cleavegas at the mass level could be overcome by elite cooperation). Dalam konteks kepartaian, para pemimpin partai adalah elite politik.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat ,menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga Negara dengan pemerintahannya. Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan srtikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk menduduki posisi-posisi ekskutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan instrument untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik dinegara demokrasi.
Di pihak lain dapat dilihat bahwa sering kali partai melahan mempertajam pertentangan yang ada. Dan jika hal ini terjadi dalam suatu masarakat yang redah kadar consensus nasionalnya, peran semacan ini dapat membahayakan stabuilitas politik.
2.3.2 Fungsi di Negara Otoriter.
Hal-hal yang dijelaskan dibagian terdaluhu adalah fungsi-fungsi partai menurut pandangan yang berkembang dinegara yang menganut paham demokrasi. Kini, marilah kita lihat bagaimana paham Negara otoriter, misanya bagaimana komunisme di Uni Soviet memandang paham politik. Pada kenyataanya pandangan tersebut memang berbeda. Contoh lain Negara yang otoriter adalah China dan Kuba.
Tetapi disini hanya dibahas komunisme di Uni Soviet masa lampau.
Menurut paham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah parati komunis berkuasa di Negara di mana partai komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain dianggap sebagai mewakili kepentingan kelas tertentu yang tidak dapat bekerja untuk kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu, partai komunis akan mempergunakan setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti yang banyak terdapat di Negara-negara demokrasi) untuk untuk mencari dukungan seluas-luasnya. Partai ini menjadi paling efektif di Negara yang pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya kurang bersatu.
 Akibat karakter nya yang demikian, partai komunis sering dicurigai dan dibeberapa Negara bahkan dilarang. Akan tetapi tindakan semacam itu juga ada bahayanya. Sebab dalam keadaan seperti itu partai akan bergerak di bawah tanah, sehingga justru sukar diawasi.
Apabila tidak menemukan jalan untuk merebut kekasaan, partai akan mencoba mencapai tujuannya melalui kerja sama dengan partai-partai lain dengan mendirikan Front Rakyat atau Front Nasional (popular front tactics).
Berbeda halnya apabila partai komunis berkuasa. Disini partai komunis mempunyai kedudukan monopolistis, dan kebebasan bersaing ditiadakan. Dapat saja ia menentukan dirinya sebagai partai tunggal atau sekurang-kurangnya sebagai partai yang paling dominan, seperti yang terjadi di Uni Soviet, China, dan Negara-negara komunis Eropa Timur.
Tujuan partai komunis adalah membawa masyarakat ke arah terciptanya masyarakat yang modern dengan ideology komunis, dan partai berfungsi sebagai “pelopor revolusioner” untuk mencapai tujuan itu. Partai Komunis Uni Soviet yang berkuasa dari tahun 1917 sampai 1991 merupakan partai seperti itu.
Partai komunis memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep jabatan rangkap. Begitu pula halnya dengan pemimpin semua badan kenegaraan seperti bdan ekskutif dan badan yudikatif. Sekretaris Partai Komunis lebih berkuasa dari presiden (ketua presidium). Maka dari itu Uni Soviet sering dinamakan Negara totaliter.
Fungsi sebagai sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga Negara kea rah kehidupan dan cara berpikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan oleh partai. Dinegara-negara demokrasi partai berperan untuk menyelenggarakan integrasi warga Negara kedalam masyarakat umum.
Partai juga berfungsi sebagai sarana rekrutan politik.calon anggota harus menjalani masa percobaan di mana ia harus memenuhi standart-standart ketat mengenai pangabdian dan kelakuan. Yang ditetapkan oleh partai komunis. Akan tetapi karena iklim politik tidak kompetitif maka pemilihan umum tidak merupakan sarana untuk memilih pemimpin Negara. Razim ini dapat dikategorikan sebagai :”Sosialisme negara dimana control politik ada di tangan partai komunis yang bersifat monopolistic dan hierakis, dan di mana ekonomi

diatur atas dasar kolektivitas dan perencanaan ekonomi terpusat dari Negara”.
Pada akhir decade 80-an terjadi pergolakan melawan rezim represif, yang berakhir dengan budayanya Uni Soviet pada tahun 1991 dengan terbetuknya Commonwealth of Independent States.
Dari uraian tadi dijelaskan kalau dikatakan bahwa fungsi partai politik di Negara komunis berbeda dengan partai dalam Negara yang demokratis. Mengenai perbedaan ini Sigmund Neumann menjelaskannya sebagai berikut : jika di Negara demokrasi partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat, maka partai komunis berfungsi sebagai pengendali semua aspek kehidupan secara monolitik. Jika dalam masyarakat demokratis partai berusaha menyelenggarakan integrasi warga Negara kedalam masyarakat umum, peran paartai komunis ialah untuk memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai (enforcement of conformity). Kedua fungsi ini diselenggaraakan melalui propaganda dari atas kebawah.
2.1.3 Fungsi di Negara-negara Berkembang
Dinegara-negara berkembang keadaan politik sangat berbeda satu sama lain. Partai-partai politik umumnya lemah organisasinya dan jarang memiliki dukungan massa yang luas dan kukuh.partai politik berhdapan dengan berbagai masalah seperti kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, pembagaian pendapatan yang timpang dan tingkat buta huruf yang tinggi.
Di beberapa Negara fungsi yang agak sukar dilaksanakan ialah sebagai jembatan antara “yang memerintah” dan “yang Diperintah”. Sering golongan pertama banyak orang kaya, sedangkan golongan yang “diperintah” banyak mecakup orang miskin.dengan demikian jurang di antara kedua belah pihak sukar dijembatani.masalah seperti ini dapat mengalihkan perhatian, jauh dari usaha mengatasi masalah kemiskinan dan masalah-masalah pembangunan lainnya yang menjadi sasaran utama dalam masyarakat-masyarakat berkembang.
Satu peran yang sangat diharapkan dari partai politik adalah sebagai sarana untuk meperkembangkan integrasi nasional dan memupuk identitas nasional. Akan Tetapi pengalaman dibeberapa negara menunjukkan bahwa partai politik sering tidak mampu membina integrasi, akan tetapi malah menimbulkan pengotaan dan pertentangan yang mengeras.
Karena pengalaman tersebut diatas, banyak kritik telah dilontarkan kepada partai-partai politik, dan bebrapa alternatif telah diikhtiarkan. Salah satu jalan keluar diusahakan dengan jalan meniadakan partai sama sekali. Hal ini telah dilakukan oleh Jendral Ayun Khan dari Pakistan dari tahun 1958; bahkan parlemen dibubarkan. Akan tetapi setelah beberapa waktu partai-partai muncul kembali melalui suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen baru, dan Presiden Ayub Khan sendiri menggabungkan diri dengan salah satu partai politik. Pengalaman ini menunjukkan bahwa sekalipun partai politik banyak segi negatifnya, pda dasarnya kehadiran sert perannya dinegara-negara berkembang masih penting dan sukar dicarikan alternatifnya.
Pengalaman lain dibeberapa negara berkembang ialah bahwa jika lembaga-lembaga politik gagal memainkan peran yang diharapkan, akan terjadi campur tangan oleh pihak militer, hal ini sering terjadi jika masa instabilitas berjalan agak lama dan pergolakan politik sangat insentif. Dalam situasi seperti itu golongan militer mungkin merupakan satu-satunya kelompok yang terorganisir dan yang, berkat disiplin dan fasilitas yang dimilikinya, berada dalam kedudukan yang lebih menguntungkan dari pada kelompok lain. Campur tangan dari pihak militer biasanya terjadi dengan dalih untuk menghindarkan kemunduran yang leabih gawat atau timbulnya perang saudara.Sekali kekuasaan diambil alih oleh kaum militer, maka sukar sekali untuk mengembalikan kekuasaan ketangan orang sipil.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di negara-negara berkembang partai politik, sekalipun memiliki kelemahan, masih tetap dianggap sebagai sarana penting dalam kehidupan pelitiknya.
Usaha melibatkan partai politik dan golongan-golongan politik lainnya dalam proses pembangunan dalam segala aspek dan dimensinya, merupakan hal yang amat utama dalam negara yang ingin membangun suatu masyarakat atas dasar pemerataan dan keadilan sosial. Jika partai dan golongan-golongan politik lainya diberi kesempatan untuk berkembang, mungkin ia dapat mencari bentuk partisipasi yang dapat menunjang untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di negara itu. Mungkin bentuk ini dalam banyak hal akan berbeda dengan partai di negara yang sudah mapan, karena disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan dalam negeri. Setidak-tidaknya dinegara yang keabsahan pemerintahnya sedikit banyak diuji oleh berjuta-juta rakyat dalam pemilihan umum berkala, partai-partai politik dan organisasi kekuatan sosial politik lainya menduduki tempat yang krusial.





BAB III
PENUTUP
3.1   Kesimpulan
Secara umum kita dapat mendefinisikan bahwa parai politik adalah suatu kelompok yang teroganisir yang anggota-anggotanya memppunyai sebuah orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh sebuah kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya di raih lewat konstitusional untuk melakukan kebijakan-kebijakan dalam mencapai tujuan mereka.
Perlu diterangkan bahwa partai politik sangat berbeda dengan gerakan (movement) dan berbeda juga dengan kelompok penekan (pressur group) atau istilah yang lebih banyak digunakan pada dewasa ini yang memang memperjuangkan suatu kepentingan kelompok, atau memang ingin melakukan perubahan terhadap paradigma masyarakat kearah yang lebih baik.
3.2   Saran
Untuk tetap memperbaiki citra partai politik sebagai institusi demokrasi, tentu partai politik lebih maksimal memikirkan nasib masyarakat ketimbang memperebutkan kursi kekuasaan. Sedangkan dalam konteks konflik internal partai politik, meminimalisir mungkin adanya sikap politik yang bisa merusak citra partai politik itu sendiri, tetap membuka adanya ruang bagi kedua pihak yang bertikai untuk melakukan komunikasi politik yang lebih sehat dan lebih konsisten pada aturan main organisasi.Konflik tentu tidak bisa dihindari, tetapi partai politik juga harus memberikan ruang bagi terbangunnya suatu sistem manajemen konflik yang lebih baik. Agar konflik personal maupun kelompok maupun yang terjadi diluar partai tidak bisa berkembang, mampu kendalikan sehingga tidak melahirkan suasana ketegangan yang apalagi perlaku negatif yang bisa merusak. Manajemen konflik juga penting dalam mengelola masalah tersebut sebelum diselesaikan secara organisasi, atau minimal bisa secara efektif mencegah adanya perpecahan ditubuh partai. Sebagaimana yang dipikirkan oleh Ross (1993) sebagai seorang ahli dalam manajemen konflik, bahwa manajemen konflik berupa penyelesaian konflik dan bisa jadi menghasilkan ketenangan, hal positif, mufakat dan lebih kreatif. Masih ada waktu bagi para pemimpin partai untuk melakukan perubahan di dalam partainya. Kepemimpinan kharismatis haruslah diabdikan untuk kepentingan semua kader, bukan kelompok. Kepemimpinan model itu harus dipadukan dengan manajemen pengelolaan partai yang modern, terbuka dan demokratis, termasuk dalam mengelolah konflik. Hanya dengan menerapkan manajemen modern, partai bisa eksis dan mendapat simpati pendukungnya.








DAFTAR PUSTAKA
www.anneahira.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar